BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Alam semesta beserta isinya ini merupakan anugerah Tuhan yang
wajib kita jaga kelestariannya. Karena Tuhan menciptakan manusia antara lain
sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini. Segala kebutuhan manusia ada
didalamnya hingga kiamat nanti, asalkan dikelola dengan bijak dan tidak
berlebihan. Istilah sustainable development (pembangunan berkalanjutan) yang
selama ini kita dengar hanyalah jargon Negara-negara maju untuk mengelabui
negara-negara berkembang. Justru mereka menjadi bagian yang merusak alam dan
lingkungannya ini.
Jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit para
generasi muda yang tidak memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga
sedikit demi sedikit mengikis jiwa kebangsaan mereka. Walaupun masalah
pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting dalam kurikulum sekolah
dasar maupun menengah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah ada pada
kurikulum sekolah dasar.
Globalisasi
dan modernisasi industri juga sedikit banyak sudah mengganggu kestabilan
ekosistem dunia.Manusia dan alam seharusnya bisa hidup dengan berdampingan dan
menciptakan keharmonisan anatara keduanya.Namun yang terjadi saat ini adalah
manusia yang lebih berkuasa atas alam.Manusia mengeksploitasi alam tanpa
memperhatikan keberlangsungannya untuk waktu yang lama dan hanya berorientasi
pada keuntungan pribadi.
Selain
sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal masyarakat
Jawa Barat juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan
permasalahan lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh
dunia saat ini.hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah
Jawa Barat masih mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat
dengan alam. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun merusak kestabilan
ekosistem manusia.
Oleh
karena itu disusunnya makalah ini semoga bisa menambah pengetahuan kita
khususnya dalam pengelolaan lingkungan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai
tradisional yang ramah lingkungan.Sehingga kearifan lokal yang terus dijaga di
beberapa wilayah Jawa Barat tidak hanya sebagai warisan lokal yang harus dijaga
tapi nilainya bertambah sebagai solusi atas masalah lingkungan saat ini.Agar
budaya dan lingkungan dapat hidup berdampingan sampai kepada anak cucu kita
nantinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal, terdiri
dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau
setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Kearifan
Lokal adalah Gagasan-gagasan,
nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan
bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat
tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.
Definisi kearifan lokal
secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam
suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di
suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang
ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan
lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita
selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira
merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal
adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati
lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari
budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi.
Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita,
legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hokum
setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari.
Kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:
Kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:
- Kearifan lokal dalam
hubungan dengan makanan: khusus berhubungan dengan lingkungan setempat,
dicocokkan dengan iklim dan bahan makanan pokok setempat. (Contoh: Sasi
laut di Maluku dan beberapa tempat lain sebagai bagian dari kearifan lokal
dengan tujuan agar sumber pangan masyarakat dapat tetap terjaga).
- Kearifan lokal dalam
hubungan dengan pengobatan: untuk pencegahan dan pengobatan. (Contoh:
Masing-masing daerah memiliki tanaman obat tradisional dengan khasiat yang
berbeda-beda).
- Kearifan lokal dalam
hubungan dengan sistem produksi: Tentu saja berkaitan dengan sistem
produksi lokal yang tradisional, sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan
dan manajemen tenaga kerja. (Contoh: Subak di Bali; di Maluku ada Masohi
untuk membuka lahan pertanian, dll.).
- Kearifan lokal dalam
hubungan dengan perumahan: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang
tersedia di wilayah tersebut (Contoh: Rumah orang Eskimo; Rumah yang
terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.).
- Kearifan lokal dalam
hubungan dengan pakaian: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang
tersedia di wilayah itu.
- Kearifan lokal dalam
hubungan sesama manusia: sistem pengetahuan lokal sebagai hasil interaksi
terus menerus yang terbangun karena kebutuhan-kebutuhan di atas.
Ciri-Ciri Kearifan Lokal, yaitu :
1.
Mempunyai
kemampuan mengendalikan.
2.
Merupakan
benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
3.
Mempunyai
kemampuan mengakomodasi budaya luar.
4.
Mempunyai
kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
5.
Mempunyai
kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.
B. Prinsip-prinsip Kearifan
Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Secara tekstual dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyatakan dengan tegas pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip kearifan lokal sebagai
konsekuensi dari pluralisme hukum di Indonesia. Tetapi secara kontekstual dalam
ketentuan yang mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan
hidup yang menjadi harapan dari undang-undang ini. Negara Kesatuan Republik
Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang
menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi
dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan
wawasan Nusantara.
Ketersedian sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak
merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang
semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya
dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya
menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus
dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara,
asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain hal tersebut di atas, pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya
yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan
lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya
suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari
pusat sampai ke daerah.
Prinsip-prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup
mempunyai fungsionalisasi dapat memperkaya prinsip pengelolaan lingkungan hidup
nasional karena prinsip ini bersumber dari cita hukum masyarakat menyebabkan
adanya penaatan hukum secara sukarela. Prinsip-prinsip tersebut sudah menjadi
bagian dari spirit hidup yang dianut masyarakat adat sehingga akan memudahkan
bagi penerapan dan terikatnya masyarakat pada ketentuan hukum yang telah diatur
oleh desa adat. Prinsip tersebut jika diadopsi dalam proses pembentukan
peraturan perundangan-undangan akan memberikan penguatan terhadap kearifan
lokal.
C. Kearifan Lokal dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional
Memahami hukum sebagai institusi sosial, menjadikan
hukum diminta untuk mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan
secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai:
a.
Memelihara stabilitas. Institusi hukum
menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan
keadilan (dispensing justice)
b.
Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang
bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh
masyarakat
c.
Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan
anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Dengan demikian
terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam rangka
pemenuhan kebutuhan tersebut
d.
Jalinan antar institusi. Sekalipun institusi
dalam masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi
kemungkinan terjadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh
institusi hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis
antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan berimbas
kepada yang lain.
Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus
mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang
berlansung terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi
manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan
dan peradapan dalam batas-batas alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi
dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu
yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan
nyata manusia , sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.
Kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat diperhatikan.
Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan menegaskan hal tersebut, seperti
yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Dalam Pasal 2 UUPPLH:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. tanggung
jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; |
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. |
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan
dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut
dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan
yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan
(interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah
membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya
tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan
bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
– Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan
pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada
daerah:
a.
Meletakkan daerah pada posisi
penting dalam pengelolaan lingkungan hidup
b.
. Memerlukan prakarsa lokal
dalam mendesain kebijakan.
c.
Membangun hubungan
interdependensi antar daerah.
d.
Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004
dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di
Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit
PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
e.
Program Pengembangan dan
Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi
yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.
Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya
informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data
spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat
luas di setiap daerah.
f.
Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan,
Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan
mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya,
sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien
dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya
kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam
yang tidak terkendali dan eksploitati
g.
Program Pencegahan dan Pengendalian
Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup
dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan
kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang
berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini
adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah
tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku
mutu lingkungan yang ditetapkan.
h.
Program Penataan Kelembagaan
dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan
Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem
hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan
berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber
daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum
dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan
konsisten.
i.
Program Peningkatan Peranan
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan
Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya
sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
D.
Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat dalam Kearifan Lokal
Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta semua pihak di negara
Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam pembangunan, yaitu :
1.
Resiko lingkungan yang timbul dari kegiatan,
perilaku, sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional;
2.
Resiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan
cara hidup yang datang bersama modernisasi.
– Pemerintah
1.
Pemerintah Peran masyarakat
dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat,usul, keberatan,
pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.
3.
Peran masyarakat dilakukan
untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Menurut Cormick, berdasarkan sifatnya, peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan dibedakan menjadi dua
yaitu konsultatif dan kemitraan.
Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini biasanya
dimanfaatkan oleh pengambilan kebijakan sebagai suatu strategi untuk
mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Dalam pendekatan yang
bersifat konsultatif ini meskipun anggota masyarakat yang berkepentingan
mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak untuk diberitahu, tetapi
keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat keputusan tersebut
(Pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan faktor penentu
dalam pengambilan keputusan, selain sebagai strategi memperoleh dukungan dan
legitimasi publik.
Sedangkan pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan lebih
menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau posisi yang sama
dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan sebagai mitra, kedua
kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas masalah, mencari alternatif
pemecahan masalah dan membuat keputusan secara bersama-sama. Dengan demikian
keputusan bukan lagi menjadi monompoli pihak pemerintah dan pengusaha, tetapi
ada bersama dengan masyarakat. dengan konsep ini ada upaya pendistribusian
kewenangan pengambilan keputusan.
Hardjasoemantri merumuskan syarat-syarat agar partisipasi masyarakat
menjadi efektif dan berdaya guna, sebagai berikut:
sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk
mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen
I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka
peme¬rintah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengatur dan mengembangkan
kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan ling¬kungan hidup.
2.
Mengatur penyediaan,
peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali
sumber daya alam, termasuk sumber genetika.
3.
Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum
antara orang lain dan/atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap
sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
4.
Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak
sosial.
5.
Mengembangkan pendanaan bagi
upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup se¬suai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam Pasal 63 UUPPLH mengatur tentang tugas dan wewenang pemerintah
baik pusat maupun daerah pada kearifan lokal. Pada Pasal 36 ayat 1 huruf t yakni
di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 63 ayat 2 huruf n mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan pada ayat 3 huruf k menjelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Pasal 63 ayat 2 huruf n mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan pada ayat 3 huruf k menjelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
– Masyarakat
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam
kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sampai
sekarang ini, kearifan tersebut merupa¬kan perilaku positif manusia dalam
berhu-bungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari
nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat,
yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk
beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi
suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun,
secara umum, bu¬daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang
berkembang di suatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang
tinggal di daerah itu.
Peran serta masyarakat dalam Pasal 70 UUPPLH meliputi :
1.
Masyarakat memiliki hak dan
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
2.
Pemastian penerimaan informasi dengan
mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya;
3.
Informasi lintas batas
(transfrontier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah
yang dibuat manusia;
4.
Informasi tepat waktu (timely
information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan
informasi sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil
sehingga masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan
alternatif-alternatif pilihan;
5.
Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comprehensive
information); dan
6.
Informasi yang dapat dipahami
(comprehensible information).
CONTOH KASUS
REPUBLIKA.CO.ID, Dulu Hutan Mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan
Indramayu, Kabupaten Indramayu sekitar tahun 1970-1980, luar biasa keberadaannya.
Namun selama 1983-2008 di sekitar 127,3 hektare Pantai Karangsong mengalami
abrasi. Penyebabnya adalah dibelokkannya aliran Sungai Cimanuk ke arah Waledan
–Lamaran Tarung, pada 1983. Akibatnya, pantai Desa Karangsong tidak mendapatkan
suplai sedimen.
Di samping itu, kata anggota Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari Desa Karangsong Eka Tarika, kerusakan hutan mangrove semakin bertambah parah dengan adanya booming udang Windu. "Karena masyarakat membuat tambak udang Windu dengan melakukan penebangan hutan mangrove besar-besaran di tahun 1995. Akibat tidak adanya pelindung di bibir pantai terjadilah abrasi dengan tekanan gelombang yang tinggi. Tambak udang pun akhirnya ditinggalkan masyarakat," kata Eka Tarika di hutan mangrove Desa Karangson dalam acara Media Gathering Pertamina MOR IV 2016 yang berlangsung 18-20 November.
Akhirnya, masyarakat di Desa Karangsong yang peduli dengan lingkungan mulai melakukan rehabilitasi Pantai Karangsong bersama PT Pertamina
(Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, Kabupaten Indramayu sejak 2008. Pada awalnya, dilakukan penanaman mangrove sebanyak 5.000 bibit di Desa Karangsong. Di 2012, Pertamina melakukan penanaman mangrove lagi 10 ribu bibit dan saat itu dilakukan peresmian hutan mangrove Karangsong yang dilakukan Pertamina.
Dikatakan Eka, tantangan yang dihadapinya adalah benturan dengan masyarakat. Antara masyarakat yang menjadikan tambak di lokasi hutan mangrove dengan masyarakat yang ingin menyelamatkan pesisir. Hal ini yang membuat program rehabilitasi kawasan pantai tidak berhasil. Karena status lahan ada pemiliknya ketika terjadi sedimentasi atau muncul daratan atau tanah timbul untuk dijadikan tambak. Sehingga, mayoritas lahan tersebut ada hak guna usaha (HGU).
"Yang sudah saya pelajari, ada sekitar 23 Undang-Undang/Keputusan Menteri yang terkait dengan selamatkan pesisir. Namun, seringkali upaya rehabilitasi pantai untuk menyelamatkan pesisir gagal. Menurut saya justru kearifan lokal yang tertulis yang bisa melindungi kawasan mangrove, karena yang mengawasi masyarakat sendiri," ujar Eka .
Akhirnya, dari Desa Karangsong membuat Peraturan Desa No. 9 Tahun 2009 untuk melindungi kawasan mangrove. Dengan penerbitan Perdes tersebut hal ini menjadi tonggak kesadaran warga Desa Karangsong akan kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Dalam Perdes tersebut disebutkan bahwa kawasan yang sudah ditetapkan di dalam Perdes seluas 2,5 hektare tidak bisa diperjualbelikan dan dikukuhkan menjadi perlindungan mangrove. "Bagi warga yang diketahui merusak mangrove mendapat sanksi setiap merusak satu pohon harus menanam 100 tanaman mangrove hingga tumbuh," tutur Eka.
Sampai sekarang, program konservasi mangrove Karangsong telah berjalan delapan tahun. Tim Peneliti Konservasi Keanekaragaman Hayati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkugan Hidup telah melakukan serangkaian penelitian Lapangan. Hasil kajiannya, program rehabilitasi Pantai Karangsong telah menunjukkan perubahan yang signifikan.
Program ini telah berhasil melakukan penghijauan di area seluas sekitar 69 hektar, dengan peningkatan jenis mangrove dari tiga spesies pada saat mulai rehabilitas menjadi enam spesies ditambah tiga jenis vegetasi pantai. Dampaknya pun juga dirasakan warga Karangsong dan sekitarnya.
Hal itu juga diakui Head of Communication RU VI Balongan Rustam Aji. Menurut dia, keistimewaan program konservasi mangrove di Desa Karangsong karena adanya Perdes Tahun 2009. Awalnya program yang dikembangkan di Desa Karangsong hanya terfokus pada konservasi lingkungan. Setelah delapan tahun berkembang menjadi hutan mangrove yang lebat, program konservasi dikembangkan program ekowisata.
Pada 2014, RU VI Balongan bersama Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari membuat jalur pejalan kaki (track ekowisata) sepanjang 750 meter, sehingga wisatawan bisa menimati jalan-jalan di sekitar mangrove. Di samping itu, RU VI Balongan juga kemudian mendampingi Kelompok Tani Jaka Kencana dari Desa Pabean Udik untuk melakukan pengembangan produk bernilai ekonomi dengan bahan baku mangrove. Sehingga wisatawan membawa oleh-oleh dari bahan dasar mangrove.
Menurut Ketua Kelompok Tani Jaka Kencana Ahmad Lutfi, awalnya kelompoknya hanya memproduksi sirup mangrove dan sekarang sudah melakukan uji coba sekitar 100 produk. Namun, yang sudah dijual dan mendapat ijin PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dalam bentuk olahan pangan sekitar 15 produk. Di antaranya sirup pidada, sari pidada, dodol pidada, kecap kerandang, kacang kerandang. Coklat pidada, peyek daun mangrove.
Berkat ketekunan dan komitmen kelompok ada dua penghargaan terkait pelestarian lingkungan yang telah diraih yakni: penghargaan penyelamatan lingkungan dari Bupati Indramayu dan Raksa Prasada untuk kategori individu/kelompok masyarakat peduli lingkungan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah , Provinsi Jawa Barat.
Di samping itu, kata anggota Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari Desa Karangsong Eka Tarika, kerusakan hutan mangrove semakin bertambah parah dengan adanya booming udang Windu. "Karena masyarakat membuat tambak udang Windu dengan melakukan penebangan hutan mangrove besar-besaran di tahun 1995. Akibat tidak adanya pelindung di bibir pantai terjadilah abrasi dengan tekanan gelombang yang tinggi. Tambak udang pun akhirnya ditinggalkan masyarakat," kata Eka Tarika di hutan mangrove Desa Karangson dalam acara Media Gathering Pertamina MOR IV 2016 yang berlangsung 18-20 November.
Akhirnya, masyarakat di Desa Karangsong yang peduli dengan lingkungan mulai melakukan rehabilitasi Pantai Karangsong bersama PT Pertamina
(Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, Kabupaten Indramayu sejak 2008. Pada awalnya, dilakukan penanaman mangrove sebanyak 5.000 bibit di Desa Karangsong. Di 2012, Pertamina melakukan penanaman mangrove lagi 10 ribu bibit dan saat itu dilakukan peresmian hutan mangrove Karangsong yang dilakukan Pertamina.
Dikatakan Eka, tantangan yang dihadapinya adalah benturan dengan masyarakat. Antara masyarakat yang menjadikan tambak di lokasi hutan mangrove dengan masyarakat yang ingin menyelamatkan pesisir. Hal ini yang membuat program rehabilitasi kawasan pantai tidak berhasil. Karena status lahan ada pemiliknya ketika terjadi sedimentasi atau muncul daratan atau tanah timbul untuk dijadikan tambak. Sehingga, mayoritas lahan tersebut ada hak guna usaha (HGU).
"Yang sudah saya pelajari, ada sekitar 23 Undang-Undang/Keputusan Menteri yang terkait dengan selamatkan pesisir. Namun, seringkali upaya rehabilitasi pantai untuk menyelamatkan pesisir gagal. Menurut saya justru kearifan lokal yang tertulis yang bisa melindungi kawasan mangrove, karena yang mengawasi masyarakat sendiri," ujar Eka .
Akhirnya, dari Desa Karangsong membuat Peraturan Desa No. 9 Tahun 2009 untuk melindungi kawasan mangrove. Dengan penerbitan Perdes tersebut hal ini menjadi tonggak kesadaran warga Desa Karangsong akan kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Dalam Perdes tersebut disebutkan bahwa kawasan yang sudah ditetapkan di dalam Perdes seluas 2,5 hektare tidak bisa diperjualbelikan dan dikukuhkan menjadi perlindungan mangrove. "Bagi warga yang diketahui merusak mangrove mendapat sanksi setiap merusak satu pohon harus menanam 100 tanaman mangrove hingga tumbuh," tutur Eka.
Sampai sekarang, program konservasi mangrove Karangsong telah berjalan delapan tahun. Tim Peneliti Konservasi Keanekaragaman Hayati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkugan Hidup telah melakukan serangkaian penelitian Lapangan. Hasil kajiannya, program rehabilitasi Pantai Karangsong telah menunjukkan perubahan yang signifikan.
Program ini telah berhasil melakukan penghijauan di area seluas sekitar 69 hektar, dengan peningkatan jenis mangrove dari tiga spesies pada saat mulai rehabilitas menjadi enam spesies ditambah tiga jenis vegetasi pantai. Dampaknya pun juga dirasakan warga Karangsong dan sekitarnya.
Hal itu juga diakui Head of Communication RU VI Balongan Rustam Aji. Menurut dia, keistimewaan program konservasi mangrove di Desa Karangsong karena adanya Perdes Tahun 2009. Awalnya program yang dikembangkan di Desa Karangsong hanya terfokus pada konservasi lingkungan. Setelah delapan tahun berkembang menjadi hutan mangrove yang lebat, program konservasi dikembangkan program ekowisata.
Pada 2014, RU VI Balongan bersama Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari membuat jalur pejalan kaki (track ekowisata) sepanjang 750 meter, sehingga wisatawan bisa menimati jalan-jalan di sekitar mangrove. Di samping itu, RU VI Balongan juga kemudian mendampingi Kelompok Tani Jaka Kencana dari Desa Pabean Udik untuk melakukan pengembangan produk bernilai ekonomi dengan bahan baku mangrove. Sehingga wisatawan membawa oleh-oleh dari bahan dasar mangrove.
Menurut Ketua Kelompok Tani Jaka Kencana Ahmad Lutfi, awalnya kelompoknya hanya memproduksi sirup mangrove dan sekarang sudah melakukan uji coba sekitar 100 produk. Namun, yang sudah dijual dan mendapat ijin PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dalam bentuk olahan pangan sekitar 15 produk. Di antaranya sirup pidada, sari pidada, dodol pidada, kecap kerandang, kacang kerandang. Coklat pidada, peyek daun mangrove.
Berkat ketekunan dan komitmen kelompok ada dua penghargaan terkait pelestarian lingkungan yang telah diraih yakni: penghargaan penyelamatan lingkungan dari Bupati Indramayu dan Raksa Prasada untuk kategori individu/kelompok masyarakat peduli lingkungan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah , Provinsi Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar