Minggu, 04 Juni 2017

KEARIFAN LOKAL (PLH)

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
                        Alam semesta beserta isinya ini merupakan anugerah Tuhan yang wajib kita jaga kelestariannya. Karena Tuhan menciptakan manusia antara lain sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi ini. Segala kebutuhan manusia ada didalamnya hingga kiamat nanti, asalkan dikelola dengan bijak dan tidak berlebihan. Istilah sustainable development (pembangunan berkalanjutan) yang selama ini kita dengar hanyalah jargon Negara-negara maju untuk mengelabui negara-negara berkembang. Justru mereka menjadi bagian yang merusak alam dan lingkungannya ini.
Jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit para generasi muda yang tidak memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting dalam kurikulum sekolah dasar maupun menengah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah dasar.
            Globalisasi dan modernisasi industri juga sedikit banyak sudah mengganggu kestabilan ekosistem dunia.Manusia dan alam seharusnya bisa hidup dengan berdampingan dan menciptakan keharmonisan anatara keduanya.Namun yang terjadi saat ini adalah manusia yang lebih berkuasa atas alam.Manusia mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlangsungannya untuk waktu yang lama dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.
            Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal masyarakat Jawa Barat juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh dunia saat ini.hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Jawa Barat masih mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
            Oleh karena itu disusunnya makalah ini semoga bisa menambah pengetahuan kita khususnya dalam pengelolaan lingkungan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai tradisional yang ramah lingkungan.Sehingga kearifan lokal yang terus dijaga di beberapa wilayah Jawa Barat tidak hanya sebagai warisan lokal yang harus dijaga tapi nilainya bertambah sebagai solusi atas masalah lingkungan saat ini.Agar budaya dan lingkungan dapat hidup berdampingan sampai kepada anak cucu kita nantinya.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan Lokal adalah Gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hokum setempat.

      Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

     Kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:
  1. Kearifan lokal dalam hubungan dengan makanan: khusus berhubungan dengan lingkungan setempat, dicocokkan dengan iklim dan bahan makanan pokok setempat. (Contoh: Sasi laut di Maluku dan beberapa tempat lain sebagai bagian dari kearifan lokal dengan tujuan agar sumber pangan masyarakat dapat tetap terjaga).
  2. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pengobatan: untuk pencegahan dan pengobatan. (Contoh: Masing-masing daerah memiliki tanaman obat tradisional dengan khasiat yang berbeda-beda).
  3. Kearifan lokal dalam hubungan dengan sistem produksi: Tentu saja berkaitan dengan sistem produksi lokal yang tradisional, sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan dan manajemen tenaga kerja. (Contoh: Subak di Bali; di Maluku ada Masohi untuk membuka lahan pertanian, dll.).
  4. Kearifan lokal dalam hubungan dengan perumahan: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah tersebut (Contoh: Rumah orang Eskimo; Rumah yang terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.).
  5. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pakaian: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah itu.
  6. Kearifan lokal dalam hubungan sesama manusia: sistem pengetahuan lokal sebagai hasil interaksi terus menerus yang terbangun karena kebutuhan-kebutuhan di atas.

Ciri-Ciri Kearifan Lokal, yaitu          :
1.      Mempunyai kemampuan mengendalikan.
2.      Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
3.      Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.
4.      Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
5.      Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli.

B.     Prinsip-prinsip Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Secara tekstual dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyatakan dengan tegas pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip kearifan lokal sebagai konsekuensi dari pluralisme hukum di Indonesia. Tetapi secara kontekstual dalam ketentuan yang mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi harapan dari undang-undang ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan  iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.
Ketersedian sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain hal tersebut di atas, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Prinsip-prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai fungsionalisasi dapat memperkaya prinsip pengelolaan lingkungan hidup nasional karena prinsip ini bersumber dari cita hukum masyarakat menyebabkan adanya penaatan hukum secara sukarela. Prinsip-prinsip tersebut sudah menjadi bagian dari spirit hidup yang dianut masyarakat adat sehingga akan memudahkan bagi penerapan dan terikatnya masyarakat pada ketentuan hukum yang telah diatur oleh desa adat. Prinsip tersebut jika diadopsi dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan akan memberikan penguatan terhadap kearifan lokal.
C.    Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional
Memahami hukum sebagai institusi sosial, menjadikan hukum diminta untuk mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai:
a.        Memelihara stabilitas. Institusi hukum menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan (dispensing justice)
b.       Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh masyarakat
c.        Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Dengan demikian terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut
d.       Jalinan antar institusi. Sekalipun institusi dalam masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi kemungkinan terjadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh institusi hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan berimbas kepada yang lain.
Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang berlansung terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradapan dalam batas-batas alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia , sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.
Kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat diperhatikan. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Dalam Pasal 2 UUPPLH:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan  lingkungan  lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
– Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
a.       Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup
b.      . Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
c.       Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
d.      Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
e.       Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
f.                    Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitati
g.                  Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
h.                  Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
i.                    Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
D.                Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat dalam Kearifan Lokal
Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta semua pihak di negara Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam pembangunan, yaitu :
1.                   Resiko lingkungan yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional;
2.                   Resiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama modernisasi.
– Pemerintah
1.                  Pemerintah Peran masyarakat dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat,usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.
3.                  Peran masyarakat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Menurut Cormick, berdasarkan sifatnya, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu konsultatif dan kemitraan.
Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini biasanya dimanfaatkan oleh pengambilan kebijakan sebagai suatu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Dalam pendekatan yang bersifat konsultatif ini meskipun anggota masyarakat yang berkepentingan mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat keputusan tersebut (Pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan, selain sebagai strategi memperoleh dukungan dan legitimasi publik.
Sedangkan pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan lebih menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau posisi yang sama dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan sebagai mitra, kedua kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan secara bersama-sama. Dengan demikian keputusan bukan lagi menjadi monompoli pihak pemerintah dan pengusaha, tetapi ada bersama dengan masyarakat. dengan konsep ini ada upaya pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan.
Hardjasoemantri merumuskan syarat-syarat agar partisipasi masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna, sebagai berikut:
sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka peme¬rintah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.                  Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan ling¬kungan hidup.
2.                  Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber genetika.
3.                   Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain dan/atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
4.                   Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
5.                  Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup se¬suai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 63 UUPPLH mengatur tentang tugas dan wewenang pemerintah baik pusat maupun daerah pada kearifan lokal. Pada Pasal 36 ayat 1 huruf t yakni di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 63 ayat 2 huruf n mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan pada ayat 3 huruf k menjelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
– Masyarakat
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sampai sekarang ini, kearifan tersebut merupa¬kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu¬daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.


Peran serta masyarakat dalam Pasal 70 UUPPLH meliputi :
1.      Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2.      Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya;
3.      Informasi lintas batas (transfrontier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia;
4.      Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil sehingga masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan;
5.       Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comprehensive information); dan
6.      Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information).
CONTOH KASUS

REPUBLIKA.CO.ID, Dulu Hutan Mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu sekitar tahun 1970-1980, luar biasa keberadaannya. Namun selama 1983-2008 di sekitar 127,3 hektare Pantai Karangsong mengalami abrasi. Penyebabnya adalah dibelokkannya aliran Sungai Cimanuk ke arah Waledan –Lamaran Tarung, pada 1983. Akibatnya, pantai Desa Karangsong tidak mendapatkan suplai sedimen. 

Di samping itu, kata anggota Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari Desa Karangsong Eka Tarika, kerusakan hutan mangrove semakin bertambah parah dengan adanya booming udang Windu. "Karena masyarakat membuat tambak udang Windu dengan melakukan penebangan hutan mangrove besar-besaran di tahun 1995. Akibat tidak adanya pelindung di bibir pantai terjadilah abrasi dengan tekanan gelombang yang tinggi. Tambak udang pun akhirnya ditinggalkan masyarakat," kata Eka Tarika di hutan mangrove Desa Karangson dalam acara Media Gathering Pertamina MOR IV 2016 yang berlangsung 18-20 November.

Akhirnya, masyarakat di Desa Karangsong yang peduli dengan lingkungan mulai melakukan rehabilitasi Pantai Karangsong bersama PT Pertamina
(Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, Kabupaten Indramayu sejak 2008. Pada awalnya, dilakukan penanaman mangrove sebanyak 5.000 bibit di Desa Karangsong. Di 2012, Pertamina melakukan penanaman mangrove lagi 10 ribu bibit dan saat itu dilakukan peresmian hutan mangrove Karangsong yang dilakukan Pertamina.

Dikatakan Eka, tantangan yang dihadapinya adalah benturan dengan masyarakat. Antara masyarakat yang menjadikan tambak di lokasi hutan mangrove dengan masyarakat yang ingin menyelamatkan pesisir. Hal ini yang membuat program rehabilitasi kawasan pantai tidak berhasil. Karena status lahan ada pemiliknya ketika terjadi sedimentasi atau muncul daratan atau tanah timbul untuk dijadikan tambak. Sehingga, mayoritas lahan tersebut ada hak guna usaha (HGU).

"Yang sudah saya pelajari, ada sekitar 23 Undang-Undang/Keputusan Menteri yang terkait dengan selamatkan pesisir. Namun, seringkali upaya rehabilitasi pantai untuk menyelamatkan pesisir gagal. Menurut saya justru kearifan lokal yang tertulis yang bisa melindungi kawasan mangrove, karena yang mengawasi masyarakat sendiri," ujar Eka .

Akhirnya, dari Desa Karangsong membuat Peraturan Desa No. 9 Tahun 2009 untuk melindungi kawasan mangrove. Dengan penerbitan Perdes tersebut hal ini menjadi tonggak kesadaran warga Desa Karangsong akan kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Dalam Perdes tersebut disebutkan bahwa kawasan yang sudah ditetapkan di dalam Perdes seluas 2,5 hektare tidak bisa diperjualbelikan dan dikukuhkan menjadi perlindungan mangrove. "Bagi warga yang diketahui merusak mangrove mendapat sanksi setiap merusak satu pohon harus menanam 100 tanaman mangrove hingga tumbuh," tutur Eka.

Sampai sekarang, program konservasi mangrove Karangsong telah berjalan delapan tahun. Tim Peneliti Konservasi Keanekaragaman Hayati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkugan Hidup telah melakukan serangkaian penelitian Lapangan. Hasil kajiannya, program rehabilitasi Pantai Karangsong telah menunjukkan perubahan yang signifikan. 

Program ini telah berhasil melakukan penghijauan di area seluas sekitar 69 hektar, dengan peningkatan jenis mangrove dari tiga spesies pada saat mulai rehabilitas menjadi  enam spesies ditambah tiga jenis vegetasi pantai. Dampaknya pun juga dirasakan warga Karangsong dan sekitarnya.

Hal itu juga diakui  Head of Communication RU VI Balongan Rustam Aji. Menurut dia, keistimewaan program konservasi mangrove  di Desa Karangsong karena adanya Perdes Tahun 2009.  Awalnya program yang dikembangkan di Desa Karangsong hanya terfokus pada konservasi lingkungan. Setelah delapan tahun berkembang menjadi hutan mangrove yang lebat, program konservasi dikembangkan program ekowisata.

Pada 2014, RU VI Balongan bersama Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari membuat jalur pejalan kaki (track ekowisata) sepanjang 750 meter, sehingga wisatawan bisa menimati jalan-jalan di sekitar mangrove. Di samping itu, RU VI Balongan juga kemudian mendampingi Kelompok Tani Jaka Kencana dari Desa Pabean Udik untuk melakukan pengembangan produk bernilai ekonomi dengan bahan baku mangrove. Sehingga wisatawan membawa oleh-oleh dari bahan dasar mangrove.

Menurut Ketua Kelompok Tani Jaka Kencana Ahmad Lutfi, awalnya kelompoknya hanya memproduksi sirup mangrove dan sekarang sudah melakukan uji coba sekitar 100 produk. Namun, yang sudah dijual dan mendapat ijin PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dalam bentuk olahan pangan sekitar 15 produk. Di antaranya sirup pidada, sari pidada, dodol pidada, kecap kerandang, kacang kerandang. Coklat pidada, peyek daun mangrove.

Berkat ketekunan dan komitmen kelompok ada dua penghargaan terkait pelestarian lingkungan yang telah diraih yakni: penghargaan penyelamatan lingkungan dari Bupati Indramayu dan Raksa Prasada  untuk kategori individu/kelompok masyarakat peduli lingkungan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah , Provinsi Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar